Selasa, 22 November 2011

STORY FRANCO WELLYJAT MEDJAYA KUSUMAH (ENDA)

Franco Wellyjat Medjaja Kusumah adalah anak dari Medjaja S. Kusumah dan Siti Rahayu Padang, anak sulung dari 3 bersaudara yang lahir di Kudus,4 Maret 1976.

Layaknya anak kampung,abang enda tumbuh menjadi anak yang suka main di kebun. Itulah kenapa tidak banyak permainan yang abang kuasai ketika kecil, sebatas ikut teman-teman kalau mau main ke kebun atau jalan-jalan di sekitar kampung.

Orang tua abang mendidik anak"nya termasuk abang dengan keras,, dan sangat disiplin sekali. karna ayahnya abang itu orangnya sangat disiplin sekali,dia tidak pernah main tangan jika anaknya sudah kelewatan itu sudah tidak bisa di toleransi lagi. #lirik abang enda

Pada suatu hari,,, ayah abang menerima surat panggilan dari sekolah,, dikarenakan abang enda membolos sampai 1 bulan, dan itu membuat ayahnya kesal, dan ayahnya mengajak abang berantem dan abang pun meladeninya, "toh kita yang salah juga" kata abang.

Ceritanya,,:: ayahnya selalu mengantarkan abang enda kesekolah pada suatu ketika ayahnya pulang setelah mengantar abang kesekolah,, abang endapun langsung cabut sekolah or bolos diem" tanpa di ketahui ayahnya. wkwkwk dasar si abang enda, ampun dah.

Di balik itu,, ibunya abang adalah orang yang sangat sabar apalagi melihat tingkah laku si abang,, ibunya abang jago banget yang namanya masak,, menjahit dan sebagainya,, dan di waktu luang ibunya mengajarkan abang dengan keahlian yang di punyai ibunya. #wew..

Disitu abang enda selalu belajar apa yang bisa di lakukan ibunya.. seperti motong rambut,, masak dan juga menjahit.. dan sejak SMP abang enda pun sudah ahli dengan menjahit. Kata abang, meskipun kita laki" kita tak malu dengan untuk menjahit dan bagi kita itu menyenangkan.

Untuk urusan potong rambut, si abang adalah jadi tempatnya untuk potong rambut bagi kawan"nya dan saat itu,, abangpun selalu memotongi rambut teman"nya walau dengn pembayaran Gratis, tapi kata abang, tidak di bayar dengan apapun yang terpenting adalah kita bisa mendapatkan sesuatu yang baru, dan buat kita , tidak semuanya bisa dibeli dengan uang.

Dari kecil, kita sudah hobi musik, bercita-cita menjadi gitaris yang punya band. Seringkali kita berkaca di depan cermin sambil memegang sapu layaknya gitar. Setelah lagu diputar, baru deh bergaya ala gitaris terkenal. Hehehe....

Sebenarnya, kita pernah punya cita-cita menjadi tentara, apalagi kakekku tentara. Pada akhirnya musik merusak semua cita-citaku. #wew , pantesan badan si abang tegak,, syg bgt tuh si abang ga jadi tentara. huft

Buat abang, musik adalah hidup dan matinya. Seperti candu yang makin digeluti, akan makin diresapi. Sejak SD, Enda pun sudah mencanangkan diri untuk menjadi pemusik. Meski belajar musik secara otodidak, saat SMP di Manado, Enda sudah berani membentuk band. Bahkan Enda dan bandnya selalu menyanyikan lagu ciptaan sendiri.

Memasuki SMU, kegemaran Enda bermusik ditentang orangtuannya, MS Kusumah-Siti Rahayu, karena dianggap mengganggu urusan sekolah. Padahal, musik sudah menjadi segala-galanya buat Enda. Tapi, demi menyenangkan hati orangtua, Enda tetap kuliah di fakultas hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Pada saat itu enda memaksakan diri untuk bermain musik dan ingin ke jakarta,, akan tetapi, ayah enda melarangnya dan menyuruh abang untuk menyelesaikan kuliahnya.Setelah kuliah, abang meminta ijin untuk pergi kejakarta, akan tetapi ayahnya melarang, dan ayahnya berkata : " kalau kamu memang mau pergi silahkan, tapi jangan bawa apapun ke-jakarta milik saya",.

Abang pun diam, dan abang bingung untuk pergi ke jakarta dengan cara apa.. lalu ibunya abang memanggil abang, dan ibunya abang memberikan uang untuk merantau ke jakarta, akan tetapi saat di berikan ayahnya melihat dan melarang ibunya memberikan uang buat abang pergi merantau.

Pada saat itu abang berfikir, dan ingat kalau dia pernah menang dalam photo mading yang laku di jual di sekolahnya sampai" abang mendapatkan hadiah sebuah kamera kodak. Lalu abang langsung menjual kamera kodak tersebut dari hasili penjualan photo mading seharga 150 ribu. dan uang tersebut abang gunakan unuk membeli tiket kapal laut ke Jakarta.

Abang bersama empat anggota grup bandnya yaitu plasta mengadu nasib ke Jakarta. kata abang “Siapa tahu band kami sukses. Kami menumpang kapal Kambuna dan Tiba di Jakarta, November 1996,”

Tak di sangka, tantangan hidup di Jakarta sangat berat. Jangankan untuk mengembangkan karier, mencari uang buat makan sehari-hari saja sulit. Akibatnya, Enda dan teman-temannya berpisah dan memilih jalannya masing-masing.

“Ada yang melanjutkan sekolah, tapi gue malah jadi pengamen,” kata Enda yang mengamen dari biskota ke biskota lain( Blok M, Pulo Gadung, dan Manggarai) dengan gitar pinjaman agar bisa makan. Bila malam menjelang, Enda biasa tidur dengan teman sesama pengamen di daerah Pulomas, Jakarta Timur.

kata abang :: "Yang penting prinsip saya, nggak mau nyolong dan nggak mau nyusahin orang. Saya pernah tidur di taman, sengsara banget deh, tapi saya jalani dengan sabar. Itu sekitar tahun 1997-1998,"

============================
Pertemuan Enda dengan Narkoba
============================

Pada suatu saat abang ketemu ayah Makki dan Pasha. kata abang :: "Waktu itu gue ketemu mereka dan gue iri banget sama mereka karena badan mereka lebih terlihat sehat". Sementara gue, gitar saja sudah nggak punya dan gue nanti bakalan dijanjiin sama Makki, kalau ue bisa sembuh, ue akan diberikan Gitar dan effectnya sekalian sama Makki,". Waktu itu, abang masih mengenang di saat abang masih hidup ngamen di Jakarta dan penghasilannya untuk membeli putaw. "Gue merasa lebih sehat dengan mengkonsumsi putaw dari pada makan nasi."

Abang pernah kecanduan narkotika dan minuman keras. Sejak masih duduk di bangku SD, abang sudah akrab dengan Miras sejenis Nipam dan Lexotan. dan sejak waktu SD abang sering pulang malam dan temen-temennya itu adalah anak" SMA. Beranjak ke smp, abang beralih pada Ganja dan Morfin. Mulai SMA, abang mulai mengkonsumsi putaw, dan berlangsung cukup lama sampai akhir 1999.

Dari petualangan gilanya itu sempat membuat abang nyaris ketemu ajal. "Tapi tidak mati juga, dan itu sampai tiga kali loh," katanya sembari menunjukkan bekas sayatan di bagian tangannya sebagai tanda kegilaan abang. Kata abang :: "Bekas besyet ini, tak lain ulah dari keinginan tahu gue mengenai rasa sakit. Apa rasa sakit itu nikmat apa tidak. Dan waktu itu memang nikmat yang gue temuin". Ih serem,, hehe

============================
Pertemuan Enda dan Pasha
============================

Pertemuannya dengan Pasha di tahun 1998 yang mengenalkannya kepada band Ungu. Abang Enda yang usai mengamen dari sebuah bus di Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan, berjumpa dengan Pasha yang juga baru turun dari bus. “Kami kenalan dan langsung akrab, meski tidak pernah ngamen bersama,” kata abang sambil tertawa. hahahha....

Pasha cerita kepada abang bahwa pasha akan menjalani audisi sebagai vokalis di sebuah grup bernama Ungu. Kala itu Ungu belum pernah rekaman. Pasha pun mengajak Enda ke markas Ungu di Jalan Minangkabau, Jakarta Selatan.

Hasil audisi, Pasha diterima sebagai vokalis, sedangkan Enda ditawari menjadi kru. Tanpa pikir panjang, Enda bersedia, meski honornya hanya Rp 13 ribu untuk sekali manggung. “Itu kalau mereka mendapat bayaran manggung Rp 150 ribu. Kalau Rp 50 ribu, gue gga dapet uang sepeserpun. Tapi itu yang sering terjadi. Gue cuma dapat makan doang. Padahal, gue satu-satunya kru yang melayani keperluan lima personel Ungu, mulai dari mempersiapkan peralatan, termasuk nyetel gitar, dan pernik-pernik lainnya.”

Apakah abang patah semangat? Tidak! abang tetap berprinsip, "apapun jenis pekerjaannya, harus ditekuni, karena suatu saat pasti akan menghasilkan". Pengalaman abang menjadi kru malah membuat abang makin mahir menggunakan banyak alat musik, terutama gitar. Biasanya, abang berlatih memetik gitar dari malam hingga pagi hari. “Di saat itu personel Ungu tidur, gue baru bisa meminjam gitarnya,” ungkap abang di basecamp. Kebiasaan itu dilakoninya sekitar dua tahun sampai sang gitaris yang bernama ekki itu mengundurkan diri.

Membutuhkan seorang gitaris, Ungu sepakat menunjukan kepada abang untuk menggatikan posisi Eki. akata abang :: “Sebetulnya Ungu bisa saja mendapatkan gitaris pengganti yang lebih mahir dari gue. Tetapi, namanya main band, tidak harus yang mahir memainkan alat musik semata,”. Untung bagi abang begitu bergabung, Ungu dapat kesempatan rekaman untuk album kompilasi. Sejak itulah, karier abang bersama Ungu terus menanjak.

Tak Ingin Terbuai abang bersyukur dengan apa yang dicapainya kini. Keberhasilannya menjadi buah bibir teman-teman masa lalunya. Tak sedikit yang bertanya, apa kunci suksesnya. abang bilang :: “Gue bilang enggak punya, selain bekerja tanpa memikirkan upah. Buat gue, bekerja adalah pelajaran. Gue paling enggak suka nongkrong. Di toilet pun gue membaca. Jadi, hampir tidak ada waktu yang terbuang percuma,”.

Menurut abang kesuksesan itu tidak diperoleh secara instan. Tapi diusahakan secara sistematis, sehingga kesuksesan itu akan awet. “Itulah yang Ungu yakini bersama. Untuk itu, kami selalu membangun iklim yang kondusif, agar kreativitas berkembang,”. (ucap abang dan ungu yang sudah manggung 25 kali dalam sebulan).

Selain selalu menjaga kekompakan dan terus berkreasi, "Ungu", kata abang ;: tak mau terbuai dengan materi. “Kami juga tidak mendewakan duit. Hidup ini intinya bukan duit, soalnya zaman sekarang, duit tidak akan pernah melepaskan kita dari masalah. Sebaliknya, duit malah menambah masalah,” wew si abang berfilosofi ,, hmmm..

Sekarang abang pun merasa beruntung menjadi bagian dari Ungu. Bersama rekan-rekannya yang lain, abang sering berdiskusi dalam memecahkan berbagai persoalan hidup. Setiap perbedaan dihargai dan dicari jalan tengahnya.

Contoh perbedaan pendapat itu terjadi saat Ungu akan mengeluarkan album religi menjelang Ramadan silam. Perencanaannya sempat mendapat banyak kritik, karena mereka baru mengeluarkan album pop yang sedang beredar di pasaran. Dikhawatirkan, album religi itu akan menjadi kanibal terhadap album pop. Kenyataannya, kedua album itu sama-sama laris di pasaran.

Keberhasilan itu terjadi, kata abang, karena lagu-lagu di album religi tidak jauh berbeda dengan album regular-nya. Album religi yang mereka ciptakan bukan sarana dakwah atau menggurui, melainkan cuma berbagi cerita.

Abang mengungkapkan, dalam menulis lagu religi ia hanya menumpahkan isi hatinya, tanpa pengaruh orang lain. Ia biasanya membuat lagu masih polos, hanya syair dan belum ada aransemen. “Paling-paling hanya nada dasar di bawah syairnya. Lalu saya usulkan, kemudian yang lain memberi masukan sesuai peran masing-masing. Begitu saja”

Abang tak memungkiri beberapa lagu ciptaannya menjadi hit. Kendati demikian ia tak mau menepuk dada. “Kami tidak pernah menduga sebuah lagu bakal hit atau tidak. Semua bergantung pada penilaian pendengar. Alhamdulillah beberapa lagu ciptaan saya memang jadi sangat disukai pendengar.”

Bagaimana caranya? “Bikin lagu itu gampang, hanya perlu belajar. Tapi untuk bikin lagu yang hit itu perlu talenta. Mungkin karena sejak SD gue sudah menulis lagu,” abangpun bercerita disaat abang sedang menulis lagu, biasanya berkutat di studio dalam suasana hening. “Biasanya pagi hari, saat pikiran masih jernih. Selain itu syairnya selalu apa adanya, tidak menggurui orang, itu saja,”

Abang sendiri tak pernah menghitung jumlah lagu yang sudah diciptakan. “Sudah ratusan, mungkin ya. Selain saya, Pasha dan Onci juga tetap menulis lagu. Pokoknya Ungu tidak khawatir kehabisan lagu. Stok lagu kami masih banyak” Yang pasti, keberhasilan yang diperoleh Ungu, kata abang, belum membuat mereka puas. Sebab, mereka masih terus “mendaki” untuk meraih target yang diharapkan. “Masih banyak yang ingin kami raih untuk mencapai ‘puncak’ itu,”. Tapi ia tak mau merinci obsesi Ungu itu. “Masih rahasia,” imbuhnya.


0 komentar:

Posting Komentar